Sabtu, 04 September 2010

Plagiator dan Predator ( Contoh esai )

Di negara maju seperti Amerika Serikat, ketika seseorang (apalagi dalam struktur akademis) memplagiasi, menyontek,
menjiplak, menyalin tanpa menyebutkan sumbernya, atau bahkan menyalin secara keseluruhan dapat berakibat fatal, yaitu
pencopotan gelar dan pekerjaannya. Hukum perdata dan pidana juga menantinya.

Namun, di Indonesia sebaliknya. Plagiator tidak berat hukumannya, baik secara sosial dan hukum. Pelaksanaan Pasal 44
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta tidak dengan serta-merta membuat plagiator tertekan dan takut.
Bahkan, secara sosial, seorang plagiator tetap dihormati dan dipertimbangkan pemecatannya dalam struktur akademik.
Hal ini terlihat pada sanksi seorang profesor yang ketahuan plagiat dalam tulisannya di The Jakarta Post di Bandung,
beberapa waktu lalu. Seharusnya, hukuman bagi seorang plagiator -apalagi dalam struktur tertinggi akademik- memberi
efek jera.

Plagiasi merupakan salah satu dosa terbesar. Tindakannya tidak dapat termaafkan secara akademis.

Sebab pertaruhan seorang akademisi merupakan pertaruhan autentifikasi karya dan sikap disiplin ilmu. Selain kasus di
atas, diberitakan pada Kamis (18/2), dua calon guru besar asal perguruan tinggi swasta di Yogyakarta diduga melakukan
plagiasi dalam karya ilmiah. Hasil penelitian untuk meraih gelar profesor merupakan copy paste karya mahasiswa strata
satu. Kabar sangat memilukan bagi dunia pendidikan itu tidak hanya melecehkan ilmu pengetahuan, tetapi juga
melecehkan insan akademik dan institusi pendidikan. Bahkan, Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya ikut
tercemar "nama baiknya" akibat sikap beberapa akademisi "karbitan" tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Suharso, 2005), plagiat adalah mengambil atau pengambilan karangan,
pendapat, dan sebagainya orang lain dan disiarkan sebagai karangan atau pendapat dan sebagainya sendiri. Secara
epistemologis, plagiarisme merupakan penjiplakan yang membudaya dan mendarah daging pada diri seseorang. Ketika
sesuatu sudah membudaya, menghilangkannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, kecuali dengan terapi
kejut. Dampaknya sangat fatal, baik bagi pelaku maupun orang lain.

Kasus plagiarisme, secara akademik, tidak ada kompensasinya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam kejahatan
intelektual. Tindakan amoral tidak hanya berupa pelecehan seksual, berbau porno, anarkis, menganiaya, dan
misuh-misuh. Plagiarisme merupakan tindakan paling amoral dalam bidang keilmuan. Terlepas hak asasi seseorang,
tindakan itu harus mendapat hukuman setimpal. Tidakkah ilmu pengetahuan juga memiliki haknya dalam purifikasi dan
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Apa jadinya ketika seseorang yang terhormat dan dihormati di dalam struktur
akademik melacurkan dirinya dengan tindakan amoral. Dapat dipastikan, pameo selama ini, "guru kencing berdiri, murid
kencing berlari", menemukan titik kulminasi pada pembangunan generasi bangsa yang memble, bermental pengecut,
tidak loyal, dan tidak bertanggung jawab, hingga penistaan atas nama bangsa dan negara.

Tindakan amoral seorang akademisi lebih berdosa daripada seorang pencopet atau lebih rendah dari seorang pengemis.
Saya mengatakan demikian bukan berarti saya menafikan eksistensi atau tidak menghormati seseorang. Justru
sebaliknya, ketika seseorang sudah tak menghormati gelar paling terhormat dalam struktur akademik, serta melecehkan
nilai ilmu pengetahuan, apakah masih dihargai dan patut dihormati secara akademis?

Di Amerika, mahasiswa yang terbukti sah memplagiasi satu paragraf atau bahkan keseluruhan berakibat pemecatan dan
dikenai sanksi sosial akut. Apalagi plagiasi seorang guru besar (profesor). Guru besar tak hanya panutan dalam
akademiknya, karya produktifnya merupakan anak kandung pola pikir dan sikap yang terorganisasi dan penuh tanggung
jawab.

Hadratussyaikh KH Hasyim Asya'ari, dalam Irsyadu al-Syarie bab al- 'alim wa al-muta'alim, menyebutkan bahwa ukuran
seorang mulia dalam derajat keilmuan, salah satunya, adalah mereka yang mempunyai moral tinggi. Sikap dan
perbuatannya mengandung tanggung jawab risalah ketuhanan.

Jadi, dapat dipastikan seseorang yang melacurkan diri dalam tindakan amoral, secara de jure, melawan sifat dasar
ketuhanan, yakni Al- Fatah ( Yang Maha Pembuka) dan Al-Alimu (Yang Maha Ilmu). Secara esensial, seorang berilmu,
apalagi memiliki gelar atas ilmu yang disandangnya, merupakan "utusan" Tuhan di muka bumi dalam menyampaikan
risalah ilmu.

Predator

Seorang plagiator tak ada bedanya dengan predator. Sikap dan indikasinya sama persis, yakni membunuh demi
eksistensinya sendiri. Tanpa peduli etika, moral, dan tanggung jawab, predator membunuh lawannya dan bertindak
semena-mena demi kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa dipertaruhkan.

Predator adalah pembunuh berdarah dingin. Begitu pula plagiator. Tanpa memandang etika akademik, mereka beraksi
demi gelar "terhormat". Hal itu jelas bentuk pembunuhan karakter ilmu pengetahuan. Plagiator sadar berbuat instan
menjiplak, copy paste, dan menyalin karya orang lain dalam karya yang diakuinya sebagai hasil pemikiran sendiri.

Menghalangi seorang plagiator memplagiasi sama saja menghalangi predator untuk membunuh. Untuk menghentikan
plagiasi hanya dua, yakni secara eksternal "membunuh" karakternya sebagai akademisi serta menyematkan "gelar
tertinggi" berupa guru besar plagiarisme dan secara internal membumikan kesadaran intelektual dalam segala sikap dan
pola pikir diri sendiri. Tanpa kesadaran intelektualitas masif, plagiarisme akan semakin menjadi virus sosial.

Oleh: MOHAMAD FATHOLLAH Ketua Integrated Pop-Culture Studies Sosiologi Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/22/16034135/Plagiator.dan.Predator

Tidak ada komentar:

Posting Komentar